Menurut etimologi muhkam artinya
suatu ungkapan yang maksud dan makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah
(ma ahkam al-murad bih ‘an al-tabdil wa al-taghyir) adapun mutasyabih adalah
ungkapan yang maksud dan maknanya samar (ma khafiya bi nafs al-lafzh).[3]
Sedangkan menurut pengertian
terminology, muhkam dan mutasyabih diungkapkan para ulama, seperti: ayat-ayat
muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara gamblang, baik melalui
takwil (metapora) atau tidak.[4] Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat
yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah SWT, seperti saat kedatangan hari
kiamat, keluarnya Dajjal, huruf-huruf muqththa’ah.[5]
Muhkam menurut bahasa mempunyai
arti yang banyak, seperti kekukuhan, keserupaan, keseksamaan dan keserupaan.
Namun, meskipun demikian dapat dikembalikan kepada satu arti saja, yaitu
alman’u (pencegahan). Adapun
mutasyabihat menurut pengertian bahasa biasanya dipergunakan untuk sesuatu yang
menunjukan kepada kesamaan di dalam keserupaan dan keraguan yang pada galibnya
membawa kepada kesamaran,[6]
Muhkam ayat yang mengandung
penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan mutasyabih adalah ayat
yang mengandung pengertian bermacam-macam.[7] Muhkam adalah ayat yang maknanya
rasional, artinya dengan akal manusia saja pengertian ayat itu dapat ditangkap.
Tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat
dirasionalkan. Misalnya bilangan rakaat di dalam sholat lima waktu. Muhkam
adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram,
hudud, faraidh dan semua yang wajib di amalkan. Adapun mutasyabih yaitu ayat
yang padanya terdapat mansukh, dan qasam serta yang wajib di imani tetapi tidak
wajib diamalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang dimaksud.[8]
Muhkam ialah ayat yang berdiri
sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak
berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain
diterangkan pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya.[9]
Muhkam ialah ayat yang jelas
maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah
ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak
diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang
hanya Allah SWT mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang
terputus-putus di awal-awal surat. Pendapat ini di bangsakan Al-Alusi kepada
pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.[10]
Al-Qur’an seluruhnya muhkamah,
jika yang dimaksud dengan kemuhkamahannya adalah susunan lafal al-Qur’an dan
keindahan Nazmnya. Sungguh sangat sempurna tidak ada sedikitpun terdapat
kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam segi maknanya.[11]
Dengan pengertian inilah Allah SWT menurunkan al-Qur’an sebagaimana ditegaskan
dalam firman-Nya: sebuah kitab yang telah dikokohkan ayat-ayat-Nya (Q.s. Hud:
11:1).
“Alif laam raa, (inilah) suatu
kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci,
yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu” (Q.s Hud
[11]:1)[12]
Adapun tafsiran ayat tersebut
adalah: Inilah, suatu kitab yang agung tuntunannya dan yang ayat-ayatnya di
susun dengan rapi oleh Allah SWT, tanpa campur tangan makhluk, kemudian setelah keistimewaannya yang demikian agung
dalam kedudukannya sebagai suatu kitab yang utuh, ia bertambah istimewa lagi
karena ayat-ayatnya di jelaskan secara
terperinci juga oleh Allah SWT dan oleh Rasul-Nya yang sejak semula diturunkan
dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu kepadamu, wahai Muhammad,
kami menurunkannya demikian itu agar kamu semua, wahai manusia dan jin, tidak
menyembuhkan selain Allah.[13] Setelah
menjelaskan keistimewaan al-Qur’an dijelaskannya fungsi Nabi Muhammad, yang
menerima dan menyampaikannya, yakni sesungguhnya aku khusus terhadap kamu
semua, wahai manusia dan jin, diutus dari-Nya yakni dari Allah SWT, bukan atas
kehendakku adalah pemberi peringatan sempurna bagi yang durhaka dan pembawa
kabar gembira yang mencapai puncaknya bagi yang taat.[14] Kita juga dapat
mengatakan, bahwa seluruh al-Qur’an adalah mutasyabihat, jika kehendaki dengan
kemutasyabihannya, ialah kemutamatsilan I’jaz dan kesulitan kita memperhatikan
kelebihan sebagian sukunya atau yang lain.[15] Dengan pengertian inilah Allah
AWT menurunkan al-Qur’an seperti yang ditandaskan dengan firman-Nya, (Q.s.
Al-Zumar [23]: 39)
Allah telah menurunkan Perkataan
yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,
kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan
Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk
baginya. (Q.s. Az-Zumar [39]: 23).[16]
Di dalam tafsir Al-Maragi
diterangkan mengenai ayat di atas” Allah menurunkan perkataan yang terbaik
yaitu Al-Qur’an-karim yang sebagiannya menyerupai sebagian yang lain dalam
kebenarannya dan hikmat, juga sebagaimana bagian-bagian dari air dan udara
saling menyerupai sesamanya, juga sebagaimana bagian-bagian dari
tumbuh-tumbuhan dan bunga saling menyerupai sesamanya. Bagian-bagian dari
al-Qur’an itu di ulang-ulang kisah-kisahnya, berita-beritanya,
perintah-perintahnya, larangan-larangannya, janji dan ancamannya.[17] Apabila
dibaca ayat-ayat azab dari al-Qur’an, maka kulit menjadi gemetar dan hati
menjadi takut. Sedang apabila dibaca rahmat dan janji, maka kulit menjadi lunak
sedang hati menjadi tenang; jiwa menjadi tentram. As-Sajad berkata: Apabila
ayat-ayat disebutkan, maka gemetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Allah
SWT. Dengan kitab itulah Allah SWT memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia
kehendaki, memberi taufik dan beriman. Dan barang siapa yang di hinakan oleh
Allah SWT sehingga ia tidak beriman kepada al-Qur’an dan tidak membenarkannya,
maka tak ada orang yang dapat mengeluarkan dia dari kesesatan dan tak ada yang
dapat memberi taufik kepadanya untuk menempuh jalan yang benar. Kemudian Allah
SWT menyebutkan alasan dari hal tersebut, yaitu perbedaan orang yang
mendapatkan petunjuk dan orang yang sesat.[18]
Dalam bukunya Ahmad Von Denffer
mengatakan kata ahkam (tunggal, hukum)
berasal dari kata hakama, yang berarti memutuskan diantara dua masalah. Apabila
kata tersebut dalam bentuk jamak, maka artinya adalah penilaian, keputusan, dan
lebih praktis lagi adalah mengambil keputusan dengan merujuk pada ayat-ayat
al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan hukum yang mengatur, dan juga termasuk
menentukan kebenaran dan kekeliruan. Inilah yang disebut ahkam umum.
Mutasyabihat (tunggal, mutasyabihat) berasal dari kata syubiha yang artinya
meragukan. Dalam verbal noun berbentuk jamak artinya tidak tentu, atau hal yang
meragukan. Dalam pengertian praktis, adalah ayat-ayat al-Qur’an yang artinya
tidak jelas, atau belum sepenuhnya.[19]
Muhkam menurut bahasa terambil
dari ahkamutud debaaah wa ahkamad, artinya melarang. Hukum yaitu pemisah antara
dua hal. Hakim melarang orang dzolim dan memisah dua orang yang bermusuhan.
Membedakan yang hak dan yang bathil, yang benar dan yang dusta. Mutasyabuh
menurut bahasa terambil dari tasyabih, yaitu yang satu diserupakan dengan yang
satu lagi. Sabhatu artinya tidak berbeda yang satu dan yang satu lagi.[20]
Pendapat Ragihib Isfahani mengatakan
bahwa mutasyabih adalah ayat yang sulit ditafsirkan karena adanya kesamaran
dengan yang lain, baik dari sisi lafazh seperti al-yadd, al-‘ayn dan
lain-lain.[21] Mutasyabih dari segi makna adalah seperti sifat-sifat Allah SWT
dan sifat-sifat hari kiamat, sebab sifat-sifat tersebut tidak bisa kita
vaktualisasikan karena tidak tergambar di dalam jiwa dan bukan genus sehingga
kita bisa merasakannya.[22]
Pendapat Asham, muhkam adalah
ayat yang dalilnya jelas, seperti dalil-dalil tentang keesaan, kekuasaan, dan
hikmah sementara mutasyabih adalah ayat yang membutuhkan perenungan dan
pemikiran untuk menjelaskannya.[23]
Dari beberapa definisi diatas
dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan ayat muhkam adalah ayat yang
sudah jelas maksudnya walaupun tanpa dijelaskan dengan ayat-ayat yang lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat adalah ayat yang masih
memerlukan penjelasan dari ayat yang lain karena masih samar-samar.
0 comments